Imaji Gender Wanita Cina yang Indonesia (full)

Klenteng Kranggan
Pengantar
Bertahun-tahun dalam hidup saya, Kartini menjadi suatu gambaran perempuan ideal yang didengung-dengungkan oleh banyak orang di sekitar saya. Gambaran untuk menjadi seorang ibu dan seorang istri yang baik. Suatu gambaran yang ternyata diwacanakan oleh negara seperti yang dikatakan Julia I. Suryakusuma dalam artikelnya Seks, Posisi Birokratis[1]. Dalam Artikel itu Julia menjelaskan bahwa negara ikut campur dan melembagakan seksualitas para pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1983. Pembentukan dan penyebaran citra tersebut juga dilanggengkan dengan dibentuknya Darma Wanita dan PKK.
Gambaran sebagi istri dan sebagai ibu yang ikut suami, ibu yang merupakan seorang ibu rumah tangga yang hanya di rumah dan mengurus rumah serta anak-anaknya, sangat jauh dengan apa yang saya temui dalam kehidupan sehari-hari. Ibu dalam keseharian saya adalah seorang yang aktif bekerja untuk membuat perekonomian rumah tetap berjalan. Ibu yang berada di posisi yang setara dengan suaminya.
Saya melalui tulisan ini ingin menggambarkan adanya imaji gender yang berbeda dengan apa yang selama ini banyak diwacanakan di Indonesia. Tulisan ini akan menggunakan metode penulisan autoetnografi. Dalam bukunya Ethnographic I, Carolyn Ellis menjelaskan bahwa autoenografi adalah suatu metode penulisan yang berangkat dari pengalaman pribadi penulis, dan mengamati sensasi fisik, perasaan, pikiran dan emosi. Suatu introspeksi sosiologis yang sistematis dan mengingat ulang suatu pengalaman yang emosional untuk lebih memahami pengalaman yang sudah dijalani.[2] Inilah kisah saya…



“Cilik-cilik Cina, suk gede meh dadi apa?”[3]
Pertanyaan itu yang mendarat di telinga kecilku ketika aku mulai bisa bermain di luar rumah. Pertanyaan yang datang dari para tentanggaku yang sudah jauh lebih tua dariku kala itu yang bahkan belum berusia lima tahun. Pertanyaan yang kubawa pulang dan kutanyaakan ulang kepada mama dan wak-ku, kakak perempuan mama. Sekarang aku masih bertanya-tanya apa yang dirasakan mamaku kala itu, ketika anak perempuan kecilnya pulang dan menanyakan pertanyaan itu padanya.
Kanyataan bahwa aku berbeda dari para tetanggaku adalah hal yang aku harus hadapi ketika aku mulai bisa bermain-main di luar rumah. Aku tidak memanggil kakakku dengan “Mas”, seperti di keluarga ibu Mutinah di belakang rumah. Aku memanggil kakakku dengan “Koko”, penggilan yang selalu ditertawakan, hingga aku memutuskan untuk berhenti menggunakan kata-kata itu. Pada usia enam tahun, aku mulai memanggil kakakku yang lebih tua lima tahun dariku dengan namanya, Daniel.
Aku tumbuh di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Temanggung adalah tempat kelahiran papaku. Setelah kedua orangtuaku menikah di Solo, mereka berdua kemudian pindah ke kota kelahiran papaku ini. Sebuah kota kecil di mana orang-orangnya saling mengenal satu sama lain. Setelah setahun tinggal bersama kakek dan nenekku, keluarga kami memutuskan untuk mandiri dan mengontrak rumah sendiri, meninggalkan kawasan pecinan yang aman dan tinggal bersama-sama dengan orang Jawa.
Tahun 1982, orangtuaku mulai membuka toko yang menjual minyak tanah dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Karena papaku bekerja di gudang tembakau kala itu, praktis urusan membuka dan mengurus toko menjadi pekerjaan mama. Sepanjang 30 tahun mama dengan setia membuka toko dari jam setengah tujuh pagi sampai jam dua siang, kemudian buka kembali jam setengah lima sore sampai jam delapan malam. Begitu rutinitasnya setiap hari, sepanjang tahun. Kami bahkan tidak mengenal hari raya, mau hari Natal, Paskah, Lebaran, sampai Imlek, jam buka toko tidak bisa diganggu gugat.
Etos kerja yang penuh dedikasi itu yang aku lihat sepanjang hari. Anehnya, tidak ada tuntutan yang sama yang diberikan kedua orangtuaku kepada anak-anaknya. Mereka hanya ingin sekolah kami berjalan dengan baik dan beres. Pernah waktu kelas empat SD rangkingku keluar dari lima besar, dan papaku berkata demikian padaku, “Kalau nilaimu ndak membaik, besok Papa belikan sapi dan angon sapi aja di sawah, ndak usah sekolah.”
Penekanan akan pentingnya sekolah mungkin karena kedua orangtuaku tidak mendapat kesempatan yang sama. Papa hanya lulus SMA, selepas sekolah ia langsung bekerja dan menikah. Sedangkan Mama, hanya lulusan SMP. Keluarganya tidak lagi mampu membiayai pendidikannya, dan memintanya untuk membantu keluarga berjualan masakan yang dijualkan oleh para ibu-ibu tenongan dari rumah ke rumah.
Sejak kecil, mamaku sebagai anak kelima dari lima bersaudara sudah terbiasa bekerja.
“Kalau pulang sekolah itu selalu ditanya, “kapan liburnya, kok sekolah terus?”
Tuntutan untuk bekerja dan membantu perekonomian keluarga lebih besar, sehingga Mama memutuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja saja. Ia pernah bekerja di pabrik obat, membantu dokter gigi, merantau ke Bali untuk berjualan baju, dan menjadi kasir di sebuah toko roti di kota Solo, hingga ia menikah dan pindah.
Bagi Mama saya bekerja adalah hal yang mutlak dilakukan, hal itu juga ditekankan pada saya anak perempuannya.
“Ya selama kita bisa bekerja dan menghasilkan uang, ya pekerjaan lain yang tidak menghasilkan uang bisa dipasrahkan ke orang lain. Perempuan juga harus bekerja dan harus bisa mencukupi kebutuhan sendiri dan anak-anak.”
Pandangan tentang pekerjaan inilah yang membuat peran pembantu menjadi penting dalam kehidupan keluarga kami. Bahkan merawat anak-anak, membantu membuat PR, menemani bermain termasuk sesuatu yang bisa didelegasikan kepada para asisten rumah tangga tersebut.
Di sisi lain, walaupun dimanjakan dengan fasilitas dan pelayanan pembantu, kemandirian adalah sesuatu yang sangat ditekankan dalam keluarga kami. Mungkin saja dilihat dari kondisi keluarga kami yang jauh dari sanak saudara, atau mungkin karena alasan lain. Salah satunya adalah saat masuk SMA aku dan kakakku sudah pergi dari rumah dan tinggal di Jogjakarta.
Sebelum pindah ke Jogja, kedua orangtuaku sangat menekankan aku untuk bisa mengendarai motor sendiri. Hal ini dimaksudkan agar aku tidak bergantung pada orang lain. Jadi di usia 15 tahun aku sudah mahir naik motor dan menjalani masa SMA-ku di sebuah SMA swasta di Jogjakarta.
Dalam hal kehidupan sehari-hari di rumah semua orang dalam keluarga kami selalu berusaha untuk menyelesaikan semua urusan dan keperluan kami sendiri-sendiri. Sangat jarang aku melihat Mama menyiapkan makanan atau keperluan papa yang lain. Lebih sering Papaku yang pergi untuk membeli lauk untuk kami sekeluarga.
Pernikahan sampai sekarang masih menjadi pembicaraan yang asing dalam keluarga kami. Memasukki usianya yang ke-31, kakak lelakiku belum mendapatkan desakan untuk menikah. Mungkin karena dia lelaki. Tetapi keadaan yang sama juga menghampiriku. Saat teman-teman sebayaku yang berusia 25 tahunan ke atas ini mulai beranjak menikah satu per satu, atau banyak cerita di mana mereka semua mulai dikejar-kejar untuk menikah, dan hal itu tidak aku rasakan.
Sampai sekarang pendidikan dan pekerjaan masih menjadi prioritas bagi orangtuaku yang ditekankan dalam kehidupanku. Masih teringat dengan jelas dalam ingatanku ketika aku menceritakan ingin melanjutkan sekolah ke jenjang S2, betapa antusiasnya Mamaku dengan keputusan yang aku ambil. Keputusan yang berarti beliau masih harus menanggung kehidupanku dua tahun lebih panjang. Bahkan bisa jadi lebih lama dari itu.
Antusiasme yang tidak kurasakan ketika aku membicarakan tentang relasi dengan lelaki. Bahkan ketika aku menceritakan teman-temanku yang sudah atau ingin menikah reaksi Mamaku adalah, “Diselesaikan dulu sekolahnya, buat apa kesusu nikah? Kalau sudah menikah dan punya anak sudah nggak bisa ngapa-ngapain.”
Dalam keluarga besarku, tidak banyak yang menikah di usia muda. Mamaku sendiri menikah di usia 25 tahun. Ada seorang kakak perempuannya yang tidak menikah dan memilih untuk tinggal sendiri di Jakarta. Sebagian besar sepupuku baik lelaki dan perempuan sebagian besar menikah di atas 30 tahun.
Pemilihan pasangan sendiri pada umumnya sudah diserahkan kepada masing-masing anak. Namun dalam prakteknya tetap ada batasan-batasan yang kadang tidak diungkapkan langsung atau hanya berupa anjuran. Beberapa di antaranya adalah sebaiknya memilih pasangan dari sesama keturunan Cina karena dianggap masih menjunjung nilai-nilai kekeluargaan. Selain itu untuk pemilihan pasangan lelaki tetap diharapkan untuk memilih lelaki yang sudah mapan dalam pekerjaan.
Bagiku sendiri pernyataan bahwa orang Cina itu lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan hanyalah pernyataan yang tidak terbukti kebenarannya. Aku yang Cina ini sangat jarang berkomunikasi dengan saudara di luar keluarga inti, sedangkan temanku yang pribumi malah sangat erat hubungan kekeluargaannya, bahkan sampai ke sepupu kedua. Sedangkan dalam pemilihan pasangan sendiri, aku sangat jarang tertarik dan menjalin hubungan dengan seorang lelaki keturunan Cina. Di satu sisi aku tidak memiliki jaringan pertemanan yang banyak orang Cinanya, di sisi lain adanya keengganan untuk menjadi lebih Cina lagi dengan menikah dengan seorang keturunan Cina. Menjadi Cina masih menjadi sesuatu yang tidak menyenangakan bagiku. Secara sadar ataupun tidak sadar. Dan aku tidak ingin hal itu dialami oleh anakku kalau ada nantinya.
Untuk masalah kemapanan dalam pekerjaan sendiri tidak hanya diterapkan pada lelaki. Sebagai anak perempuan akupun diharapkan mapan dan dapat mandiri secara fiansial terlebih dahulu sebelum menikah. Menikmati hasil setelah bersekolah selama bertahun-tahun.
Sebagai orang keturunan Cina yang ada di Indonesia, keadaan dan pergolakan yang terjadi di Indonesia mau tidak mau menjadi bagian dalam kehidupan kami sehari-hari dan hal itu juga mempengaruhi apa yang kami jalani dan rasakan. Peraturan-peraturan seperti adanya larangan pelaksanaan adat dan budaya Cina[4] serta peraturan untuk penggantian nama Cina menjadi nama Indonesia. Peraturan yang mungkin memang muncul hampir 50 tahun yang lalu, tetapi efeknya masih terasa sampai sekarang.
Generasiku sekarang adalah generasi yang kehilangan akarnya. Di satu sisi tidak ada lagi nama Cina yang aku miliki, tidak ada satu pun kata bahasa Cina yang aku kenal. Tapi atribut sebagai orang Cina, penempelan labelnya, kesulitan-kesulitannya, bahkan ketakutan-ketakutannya, masih aku bawa sampai sekarang. Ketakutan bahwa suatu saat jika Negara ini kembali memasuki masa krisis maka kamilah yang akan diserang, kamilah yang akan dimusnahkan. Ketakutan yang belum bisa hilang.  Ketakutan yang tidak aku alami sendiri tapi diturunkan dari generasi ke generasi.

Klenteng Kranggan

Pembahasan
Kecinaan bukanlah sesuatu yang bisa dilepaskan begitu saja dalam kehidupan seorang keturunan Cina di Indonesia, khususnya di Jawa ini. Bahkan sebelum kesadaran saya sebagai individu muncul dengan sempurna, lingkungan telah menegaskan bahwa saya seorang keturunan Cina yang berbeda dari mereka. Saya diliyankan, dan mau tidak mau hal itu saya internalisasikan dalam diri saya bahwa saya berbeda dari orang-orang di sekitar saya.
Tidak hanya sekadar berbeda, pertanyaan “Masih kecil (sudah) Cina, besok kalau besar mau jadi apa?” Adalah pertanyaan yang secara langsung maupun tidak langsung menyayangkan kecinaan yang saya miliki. Sesuatu yang membuat identitas sebagai orang Cina menjadi lebih inferior dibandingkan dengan mereka yang pribumi. Identitas orang keturunan Cina sebagai “liyan” ini juga merupakan suatu hal yang sengaja diciptakan dan dilanggengkan oleh pemerintahan Orde Baru. Warga keturunan Cina tetap tidak dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.[5]
Dalam bukunya White Skin, Black Masks, Fanon menceritakan pengalaman yang serupa. Sebagai seorang berkulit hitam yang minoritas di kalangan orang kulit putih. Kehitamannya menjadi begitu terasa dan membuatnya menjadi begitu berbeda dengan orang-orang kebanyakan di sekitarnya. Ia juga harus membawa berbagai stereotipe tentang orang kulit hitam. Bahkan dalam kisahnya ada anak-anak yang sampai menangis ketakutan ketika melihatnya[6]. Suatu kondisi yang terjadi terus menerus yang menimbulkan perasaan inferioritas bagi orang minoritas.
“In the twentieth century the black man on his home territory is oblivious of the moment when his inferiority is determined by the Other.” (Fanon, hal. 90)

Diskriminasi yang diterima oleh warga keturunan Cina tidak hanya dilakukan oleh masyarakat secara orang per orang. Sejarah sendiri mencatat bahwa pembantaian dan perlakuan diskriminasi terhadap warga keturunan Cina sudah terjadi sejak zaman Belanda berkuasa. Salah satunya adalah adanya politik apherteid yang dibuat Belanda yang menggolongkan masyarakat Hindia Belanda menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Belanda juga mengkavlingkan tempat tinggal penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras, seperti Pecinan, Kampung Arab, Kampung Melayu dan lain sebagainya[7].
Kebijakan yang diskriminatif ini juga masih dilakukan oleh pemerintahan Indonesia dengan munculnya kebijakan yang diskriminatif, seperti pelarangan pelaksanaan adat budaya dan perintah untuk penggantian nama. Hal ini merupakan suatu diskriminasi institusional yang dilakukan secara tidak langsung oleh pemerintah. Diskriminasi ini terjadi dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang membatasi suatu etnis tertentu[8].
Salah satu akibat dari dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut adalah menjadi terputusnya generasi baru keturunan Cina dengan adat dan budayanya. Kami tidak lagi memiliki nama Cina, tidak lagi menjalankan adat seperti bersembahyang kepada leluhur atau ke Klenteng. Selain itu kami juga tidak lagi berpegang pada ajaran Konfusius yang menjadi ideologi dalam kehidupan orang Cina[9].
Dalam ajaran kofusius, perempuan dituntut untuk mematuhi dan melanggengkan nilai dan norma yang seringkali malah merugikan perempuan itu sendiri. Ideologi patriaki yang yang mengakar pada ajaran Konfusius malah menghambat perkembangan perempuan Cina itu sendiri[10].
Dalam kehidupan yang saya jalani, karena terputusnya generasi warga keturunan Cina ini dengan akar budayanya, membuat saya tidak lagi menemui aturan atau norma yang mendiskreditkan saya sebagi perempuan. Perempuan dalam keluarga saya tidak dituntut untuk menjadi perempuan yang ikut suami, bahkan tidak juga terdapat tuntutan untuk berperan sebagai ibu. Sebagaimana imaji gender yang ada di Indonesia.
Salah satu imaji wanita ideal yang banyak dijadikan panutan adalah imaji Kartini. Kartini dikonstruksikan oleh pemerintahan Orde Baru sebagai sosok ‘ibu ideal’ bagi wanita Indonesia. Sosok ini mencerminkan kualitas sebagai wanita yang merawat, mau berkorban demi, dan lebih mengutamakan orang lain.[11] Imaji ini juga dilanggengakan negara dengan Dharma Wanita. Dharma Wanita dalam era Orde Baru memiliki imaji bahwa seorang wanita yang ideal adalah seorang istri yang tidak bekerja di sektor publik atau hanya menjadi ibu rumah tangga di rumah, seorang istri yang ikut suami, baik itu dalam jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari[12].
Imaji ibu atau istri seperti yang diwacanakan tersebut terasa sangat jauh dari kehidupan saya. Di satu sisi ibu saya memang bekerja di rumah, tidak pergi ke mana-mana setiap harinya. Tetapi ia tidak menjalankan peran tradisionalnya sebagai seorang ibu. Sesuai dengan pernyataannya di atas, beliau lebih banyak bergerak dalam sektor ekonomi. Pada beberapa periode dalam kehidupan keluarga kami, bisa dibilang ibu merupakan tulang punggung keluarga yang menghidupi dan menggerakkan perekonomian keluarga. Peran-peran ibu tradisional seperti mengurus rumah, memasak, bahkan mengurus anak-anak, beliau delegasikan kepada orang lain. Dalam hal ini adalah pembantu atau asisten rumah tangga.  
Peran wanita sebagai penggerak sektor ekonomi ini sebenarnya tidak asing di lingkungan Jawa, lingkungan tempat kami tinggal. Dalam kehidupan masyarakat Jawa sudah sangat umum ditemui wanita bekerja dalam sektor publik. Seperti dalam pengelolaan sawah, menjual hasil pertanian, atau dalam sektor perdagangan.[13] Posisi lelaki dan perempuan dalam keluarga di Jawa juga relatif seimbang di mana keduanya sama-sama memiliki hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga. Semakin menjauhnya keluarga kami dari kebudayaan Cina yang cenderung patriakis ke kebudayaan Jawa yang lebih seimbang menandakan adanya percampuran atau hibriditas yang memang tidak dapat dihindari dengan tingginya interaksi antar kedua budaya.
Keseimbangan antara lelaki dan perempuan ini juga tercermin dengan hak untuk memperoleh pendidikan dan kewajiban yang setara antara lelaki dan perempuan dalam keluarga. Tidak ada batasan atau larangan untuk memilih pekerjaan atau jurusan dalam perkuliahan. Bahkan saya sebagai perempuan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang S2, sesuatu yang tidak dilakukan kakak lelaki saya. Praktis pendidikan saya sebagai wanita sudah lebih tinggi dari semua lelaki dalam keluarga saya.
Memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak dalam sebuah keluarga keturunan Cina tampaknya merupakan suatu kemutlakan. Kondisi sebagai minoritas yang terpinggirkan dalam masyarakat membuat mereka berusaha untuk melakukan perubahan posisi dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu perubahan yang mungkin dilakukan adalah meningkatkan status ekonomi. Dengan status ekonomi yang baik, ada harapan mereka akan lebih dihargai dalam masyarakat[14] dan salah satu hal yang dapat membuat terjadinya mobilitas ekonomi adalah melalui pendidikan. Senada dengan hal itu, Lim Sing Meij juga menunjukkan hal yang sama dalam penelitiannya. Pendidikan memberikan ruang sosial baru bagi para wanita keturunan Cina[15].  
Selain itu, sebagai warga keturunan Cina, kemandirian adalah salah satu hal yang penting dan begitu ditekankan. Salah satu alasannya karena di negara Indonesia, terutama di era Orde Baru, tidak banyak peluang kerja yang terbuka bagi warga keturunan Cina. Kala itu sangatlah tidak mungkin bagi seorang keturunan Cina untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil atau menjadi aparat negara. Sehingga untuk dapat bertahan hidup salah satunya adalah dengan berwiraswasta. Dengan berwiraswasta mereka harus bertahan sendiri dan hidup mandiri.[16]
Dari pengalaman saya di atas, pernikahan tidak lagi dimaknai sebagai suatu pencapaian atau suatu fase yang harus dilalui saat seseorang memasukki usia tertentu. Bahkan ketika ada seseorang dalam keluarga memutuskan untuk tidak menikah atau menikah di usai yang tidak lagi muda, hal itu tidak menjadi suatu permasalahan. Kemandirian dan kemapanan secara finansial menjadi suatu hal yang dianggap lebih penting dan lebih bernilai. Keberhasilan dipandang pada bagaimana seseorang dapat mapan dan mandiri daripada dalam membangun sebuah keluarga.

Penutup
 Saya setuju dengan Mohanty bahwa menjadi seorang perempuan keturunan Cina di Indonesia memiliki suatu ruang tersendiri yang tidak dapat diuniversalkan begitu saja dengan perempuan lain di Indonesia. Walaupun sudah terjadi percampuran dengan budaya lokal tempat di mana wanita Cina tersebut tinggal, tetapi tetap ada keadaan dan ideologi khusus yang mempengaruhi mereka dan peran gender mereka baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Dan menurut saya, hal ini juga berlaku bagi perempuan dari suku atau latar belakang budaya yang lain.
Salah satu perbedaan yang muncul dikarenakan warga keturunan Cina sendiri yang khas di dalam masyarakat Indonesia. Warga keturunan Cina sudah menjadi masyarakat yang diliyankan selama masa pemerintahan Orde Baru, bahkan jauh sebelumnya. Pengalaman sebagai liyan inilah yang mendasari bagaimana para warga keturunan Cina bersikap dan bertindak termasuk dalam hal privat seperti dalam masalah keluarga dan pendidikan anak.
Salah satu usaha yang dilakukan agar anak-anak dalam keluarga warga keturunan Cina ini dapat bertahan dalam masyarakat adalah dengan menerapkan sikap untuk mandiri dan memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Pendidikan ini diberikan secara seimbang bagi anak lelaki dan perempuan. Dengan pendidikan yang baik, diharapkan masa depan anak-anak mereka juga lebih baik dengan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari orangtuanya yang hanya pedagang.
Penekanan dalam peran sebagai wanita sendiri tidak lagi ditekankan pada peran-peran wanita secara tradisional. Wanita diharapkan juga dapat bekerja dan mandiri, bahkan bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak-anaknya kelak. Sebagai wanita, sedapat mungkin tidak menggantungkan kebutuhan ekonomi di tangan suaminya saja. Peran-peran tradisional sebagai wanita dalam rumah tangga tidak harus dilakukan oleh istri atau ibu di rumah. Sedapat mungkin urusan rumah tangga didelegasikan kepada orang lain (pembantu rumah tangga) atau diselesaikan dengan teknologi, sehingga waktu dan tenaga yang dimiliki bisa digunakan untuk mencari uang.
Semua pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan selama ini membuat saya terus menerus membentuk ulang diri saya, baik itu sebagai wanita pada umumnya maupun terkait dengan kecinaan saya. Saya masih tidak tertarik untuk menikah dengan lelaki Cina karena bagi saya menjadi Cina itu bukanlah hal yang menyenangkan dan saya tidak ingin anak saya mengalami hal yang sama. Namun di lain sisi saya juga belajar bahwa menjadi seorang keturunan Cina juga tidaklah buruk.
Keperempuanan saya juga tidak pernah menjadi halangan untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, terutama terkait dengan sektor formal. Saya bisa mendapatkan pendidikan yang saya inginkan, saya bisa bekerja dan menjadi apa yang saya inginkan. Mungkin karena saya juga tidak ingin menjadi teknisi atau tentara yang banyak dilakukan lelaki, jadi hal itu tidak pernah saya rasakan menjadi penghalang. Selain itu saya beruntung karena saya berada di kelas menengah dan orangtua saya memiliki kesadaran dan kemampuan untuk membiayai pendidikan saya.
Jadi bagi saya, perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum menjadi suatu hal yang lebih penting di Jawa ini terutama, daripada memperjuangkan kesetaraan gender. Dengan peningkatan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat, maka secara langsung maupun tidak langsung, kesejahteraan wanita juga akan mengalami peningkatan kualitas. Apalagi saat ini wanita memiliki hak yang besar untuk mengambil keputusan dalam keluarga, seperti dalam hal pendidikan anak.






Daftar Pustaka

Ellis, Carolyn. (2004), Ethnographic I. USA: Altamira Press

Fanon, Frantz. (2008), Black Skin, White Mask. USA: Grove Press

Liliweri, Alo. (2005). Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS.

Meij, Lim Sing. (2009). Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mohanty, Chandra Talpade. (2003). “Under Westren Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses”, Reina Lewis dan Sara Mills (ed.). Feminist Postcolonial Theory: A Reader, Edinburgh University Press: Edinburgh, hlm. 49-74

Onghokham. (2008). Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina. Jakarta: Komunitas Bambu

Shakka, Anne. (2012). Identitas Warga Keturunan Cina di Jawa Tengah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. (Skripsi, tidak diterbitkan)

Suryakusuma, Julia. (2012). Agama, Seks, & Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tiwon, Sylvia. (1996). “Models and Maniacs: Articulating the Female in Indonesia”, dalam: Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing the Feminine in Indonesia, Duke University Perss, hal. 47-70


[1] Julia Suryakusuma, 2012, Agama, Seks, & Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu
[2] Carolyn Ellis, 2004, Ethnographic I. USA: Altamira Press
[3] Kecil-kecil Cina, kalau sudah besar mau jadi apa?
[4] Inpres No. 14 tahun 1967
[5] Lim Sing Meij, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah Kajian Pascakolonial, hal. 38
[6] Franz Fanon, White Skin, Black Masks, hal. 91
[7] Onghokham, Anti Cina, Kapitalsime Cina, dan Gerakan Cina, hal. 3-4
[8] Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur
[9] Lim Sing Meij, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa, Sebuah Kajian Pascakolonial, hal. 63
[10] ibid
[11] Sylvia Tiwon, Models and Maniacs, hal. 54-55
[12] Julia Suryakusuma, State and Seksuality, hal. 100
[13] Christina S. Handayani & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa
[14] Anne Shakka, Identitas Warga Keturunan Cina di Jawa Tengah, hal. 64
[15] Lim Sing Meij, hal. 5
[16] Anne Shakka, hal. 63

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith